Lagi-lagi Anarko-Sindikalis: Tinjauan Terhadap Penangkapan Anggota Anarko-Sindikalis

KBD Media Network
6 min readApr 16, 2020

--

Hans Giovanny (KBD), April 2020

Minggu ini, selain tentunya isu COVID-19 dan kegagapan pemerintah dalam menanganinya, perhatian masyarakat Indonesia tertuju ke beberapa isu lainnya yang juga masuk ke dalam pemberitaan media mainstream, beberapa diantaranya adalah Staf Khusu Presiden RI, Andi Taufan yang mengirimkan surat kepada seluruh camat di Indonesia dengan menggunakan kop surat Sekretariat Kabinet RI yang meminta agar camat se-Indonesia bekerja sama dengan perusahaan milikinya yaitu Amartha untuk mengedukasi masyarakat desa. Isu lainnya yang juga hangat adalah penangkapan beberapa pemuda yang oleh kepolisian diklaim sebagai anggota kelompok anarko-sindikalis dan diisukan akan melakukan penjarahan di pulau Jawa pada tanggal 18 April 2020, tulisan ini akan membahas isu kedua tersebut.

Pada tanggal 12 April 2020, Polda Metro Jaya menangkap empat pemuda yang kemudian disebut sebagai anggota dari kelompok anarko-sindikalis, kelompok ini ditangkap karena disebut telah melakukan aksi vandalisme dengan menggunakan kata-kata yang provokatif dan mengajak masyarakat untuk melakukan kerusuhan. Setelah penangkapan tersebut, Polda Metro Jaya kemudian melakukan konferensi pers yang dipimpin langsung oleh Kapolda, dimana Kapolda Metro Jaya juga mengatakan bahwa kelompok ini sedang merencanakan untuk melakukan aksi vandalism secara bersama-sama (berita dapat dinonton disini). Uniknya dalam beberapa alat bukti yang ditunjukkan oleh polisi termasuk buku (ya buku kini menjadi alat bukti vandalisme) karya Eka Kurniawan berjudul Corat Coret di Toilet dan Aksi Massa karya Tan Malaka, kita tentu bisa duduk seharian membahas betapa sering buku disalahkan bahkan disita dan dihancurkan karena diasosiasikan dengan tindak kejahatan, yang mana ini merupakan bukti dangkalnya literasi, (lihat kasus razia buku di Makassar) tapi kali ini penulis membatasi diri dan tidak menulis mengenai hal tersebut.

Setelah penangkapan pada tanggal 12 April tersebut, pada tanggal 15 April 2020, kembali beredar video seorang pencuri helm yang setelah ditangkap mengaku sebagai A1 alias ketua Anarko-Sindikalis Indonesia (video bisa dilihat disini) yang mengatakan bahwa kelompoknya memiliki tujuan untuk menciptakan tatanan dunia baru mirip seperti visi Sunda Empire. Kedua klaim tersebut tentu saja menggelikkan dan tidak terdengar seperti tujuan dari anarkisme sesungguhnya (Teori dan sejarah anarkisme dan anarko-sindikalis dapat dibaca pada: ABC Anarkisme karangan Alexander Berkman, Perang Yang tidak Akan Kita Menangkan karya Bima Satria Putra dan Di Bawah Bendera Hitam), dan tentu saja wajar jika kita merasa sungguh kebetulan yang apik bahwa selang tiga hari ada beberapa anggota anarko-sindikalis yang ditangkap, cukup bagi kepolisian untuk kemudian membangun narasi opini bahwa mereka merupakan kelompok yang patut diwaspadai oleh masyarakat.

Untuk menyegarkan pikiran pembaca, hampir setahun yang lalu tepatnya pada puncak peringatan May Day, kepolisian juga menangkap kelompok ‘berbaju hitam’ di kota Bandung yang dituding sebagai penyusup dalam aksi May Day dan disebut sebagai dalang kerusuhan Kapolri pada saat itu Jenderal Tito Karnavian kemudian mengatakan bahwa kelompok ini merupakan Anarcho-Syndicalism. Terbangunlah opini bahwa kelompok ini merupakan pembuat onar, patut diwaspadai dan berbahaya, sayangnya (atau mungkin hebatnya!) opini yang dibangun ini bisa terbilang cukup sukses dibuktikan dengan banyaknya komentar warga-net yang terkesan mendukung untuk memberantas kelompok ini bahkan ada yang menyarankan agar kelompok ini ditembak mati (seakan nyawa tidak ada harganya) sehingga ketika ratusan pemuda yang diklaim sebagai anggota anarko-sindikalis di Bandung kemudian ditangkap, dilucuti, disiksa dan dipermalukan oleh aparat di muka umum mayoritas masyarakat seakan tidak peduli lagi bahkan tidak sedikit yang mendukung tindakan dari kepolisian tersebut, padahal jelas menurut UUD 1945 pasal 28 dan berbagai peraturan perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia, tindakan aparat tersebut digolongkan sebagai penyiksaan dan tidak bisa dibenarkan atas alasan apapun. Upaya Lembaga Bantuan Hukum untuk mengadvokasi mereka pun dapat dikatakan sia-sia dan tidak mendapatkan simpati dari masyarakat.

Respon masyarakat dan tindakan aparatur negara itu lah yang akan dibahas oleh tulisan kali ini;

Pertama tidak berlebihan jika ada yang beranggapan bahwa kasus ini merupakan pengalihan isu semata, agar masyarakat tidak melulu dicekoki dengan berita mengenai Covid-19 yang pasiennya terus bertambah, korban meninggal lebih banyak dibanding yang sembuh hingga pemerintah yang mengaku tidak membuka semua informasi terkait wabah tersebut, maka perlu ada isu selingan yang dimunculkan, tentu akan buruk bagi pemerintah jika isu yang dimunculkan adalah kegagapan Staf Khusus Presiden tamatan Harvard yang gegabah menyurati camat se-Indonesia. Maka muncullah anarko-sindikalis. Sama seperti 2019, pada puncak hari buruh dan bukannya tuntutan serta kondisi buruh yang menjadi fokus pemberitaan melainkan aksi kelompok penyusup bernama anarko-sindikalis, kali ini kita juga disuguhkan pemberitaan yang fokus memberitakan bahwa kelompok ini memanfaatkan pandemi untuk menyebarkan hoax, melakukan vandalisme dan mengajak masyarakat untuk melakukan penjarahan. Ditengah gelombang protes berbagai elemen masyarakat sipil terhadap pemerintah yang dianggap gagal menangani masalah pandemi Covid-19 dengan baik, perhatian kita seakan ingin dialihkan sejenak dan disuguhkan musuh bersama bernama anarko-sindikalis. Pemerintah tidak mungkin menyerang LSM dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini melayangkan protes keras terhadapnya seperti YLBHI, KontraS, Lokataru karena simpati masyarakat terhadap LSM-LSM ini yang cukup besar, tentu popularitas pemerintah akan semakin turun jika meladeni semua serangan dari LSM-LSM tersebut, perlu ada kelompok yang kurang populis dan mampu membangkitkan amarah masyarakat yang dapat disalahkan sejenak, disinilah isu anarko-sindikalis muncul. Dengan memanfaatkan memori atas aksi mereka pada May Day 2019, tentu saja cukup mudah untuk memberi framing buruk bagi kelompok yang disebut pengacau ini.

Mari kita mundur ke belakang, menurut Abdil Mughis Mudhoffir dalam buku Oligarki, Soeharto, dalam mengkonsolidasikan kekuatannya terus mereproduksi fobia terhadap komunisme serta menutup kemungkinan lahirnya oposisi dengan dalih ketertiban umum. Tentu kita tak ingin pola itu kembali terjadi, jangan sampai isu anarko-sindikalis digunakan berulang-ulang untuk memproduksi fobia masyarakat dan membuat kita sejenak terbuai dengan framing dangkal yang terbangun. Dua penangkapan terhadap anggota dan orang yang diklaim sebagai anggota anarko-sindikalis ini terjadi dalam waktu yang berdekatan, seakan ingin memberikan sinyal kepada kita bahwa isu ini belum selesai dan masih akan berlanjut, mengingat pesan kepolisian bahwa mereka akan melakukan aksi pada tanggal 18 April, bukan tidak mungkin jika akan nada gelombang penangkapan berikutnya.

Kedua, hal ini menandakan bahwa masyarakat Indonesia sangat cepat dalam menerima dan mempercayai informasi tanpa lebih dulu mencari tahu kebenaran dan latar belakang informasi tersebut, khususnya jika informasi tersebut berkaitan dengan tindak kriminal. Cukup sering kita melihat respon masyarakat jika terjadi penangkapan terhadap terduga pelaku kejahatan mulai dari ‘teroris’ sampai maling ayam, dibantu dengan framing media yang seringkali berat sebelah dan terkesan menjatuhkan si terduga, masyarakat akan seketika menyimpulkan bahwa mereka merupakan parasit, penyakit masyarakat yang harus dimusnahkan dan tidak layak untuk hidup diantara masyarakat. Pemenjaraan dan pidana berat pun seakan menjadi satu-satunya solusi atas masalah tersebut, melupakan bahwa sistem kepenjaraan Indonesia pun terbukti memiliki banyak masalah seperti over-kapasitas. Masyarakat terkesan melihat peristiwa sebagai hitam-putih, benar dan salah, setan melawan malaikat, dimana aparatur negara dipandang sebagai protagonis dan tersangka sebagai antagonis super jahat, prinsip praduga tak bersalah yang diajarkan di fakultas hukum tidak ada artinya di mata masyarakat, masyarakat juga kadang lupa bahwa kejahatan atau pelanggaran harus dilihat dari banyak sisi bukan semata menurut framing yang diperlihatkan oleh media. Hal ini menunjukkan betapa masyarakat sering abai dan meng over-simplifikasi peristiwa sosial yang terjadi. Hal yang sama terjadi pada kasus penangkapan anarko-sindikalis, tanpa mencari tahu apa sebenarnya anarko-sindikalis itu kita begitu saja termakan dan percaya semua klaim yang ditampilkan pada kita oleh media dan melabeli mereka sebagai penjahat dimana kepolisian mendapat citra sebagai protagonis pelindung masyarakat. Pandangan inilah yang harus kita sadari, jika anda membaca tulisan ini hingga bagian ini sudah tentu anda merupakan orang paling tidak memiliki minat untuk membaca dan tidak akan dengan mudah termakan framing hitam-putih milik media mainstream.

Terakhir, meskipun tidak ingin membahas teori dan sejarah anarko-sindikalis secara khusus, penulis berpandangan saat ini kita perlu memberi keadilan kepada teori tersebut, anarko-sindikalis seringkali dianggap sebagai bagian dari perkembangan teorisasi anarkisme dan sama seperti memandang liberalisme, sosialisme, republikanisme atau paham lainnya kita harus memandang anarkisme dan/atau sindikalisme sebagai sebuah paham atau ideologi, perlu ada ruang diskusi akademis terhadap paham ini. Selama ini anarkisme dan sindikalisme selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan dan amoral, sementara di satu sisi kita jarang dan cenderung enggan melihat paham ini lebih jauh yang sama seperti ideologi lainnya tentu akan terdapat banyak skisma atau fragmen mulai Anarko-Sindikalis sendiri yang diperkenalkan oleh Rudolf Rocker, Anarkisme-kolektif ala Bakhunin, Anarkisme-Komunis ala Berkman, hingga Anarkisme Kristen ala Leo Tolstoy dan Soren Kierkegaard. Kita perlu terus belajar untuk melihat suatu isu secara lebih kritis agar tidak dengan mudah termakan bingkai pemberitaan yang seringkali over-simplistik dan (maaf) menyesatkan.

Anda dapat langsung mengunduh versi offline artikel ini disini.

Hans Giovanny adalah pengisi Siniar kbdpodcast di rubrik Indonesia Minggu ini, lebih sering dipanggil Hans. Jangan sungkan menghubunginya di Instagram @Hansgiovannyy.

--

--

KBD Media Network
KBD Media Network

Written by KBD Media Network

“Kita Bicara Dulu” adalah sebuah media yang dibuat untuk menjadi akses termudah bagi mereka yang ingin mengekspresikan opininya secara bebas.